Minggu, 22 Agustus 2010

Peluang dan Tantangan OTUS Bagi Propinsi Papua


Oleh : Septinus Tipagau

Berbagai  pandangan dari masyarakat Papua memandang bahwa Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Propinsi Papua sebagai salah satu produk hukum yang akan dapat meningkatkan kesejatheraan hidup bagi rakyat Papua yang masih tersisih dari berbagai aspek kehidupan. Namun realita di lapangan menujukkan bahwa impian rakyat Papua itu digagalkan oleh kelompok kepentingan politik di tingkat pemerintahan pusat, pemerintah Propinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota di seluruh tanah Papua.
Mengapa demikian? Contoh konkrit yang kami dapat lihat dan rasakan adalah pada saat penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini membuat ricu dan demostrasi seluruh Kabupaten yang ada di Propinsi Papua, entah itu Kabupaten baru (administrative) maupun Kabupaten lama (devinitive). Bukan hanya itu tetapi penembatan jabatan/eselon pada system Birokrasi pemerintah hingga, bidang swstapun tidak mengakomodirkan putra putri orang aslih Papua, sehingga kehidupannya Nampak tersisih.
Setelah menlihat dan merasakan sendiri, menjadi pertanyaan bahwa inikah yang di maksudkan pemerintah Pusat dengan sebutan “Orang Papua Menjadi Tuan Besar di Negerinya Sendiri”? jika demikian maka secara psikologis Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah membunuh rakyat Papua secara tidak langsung. Jika menlihat kembali sejarah lahirnya Undang-undang Otonomi khusus dalam jangka 25 tahun, maka kini sisa waktu 14 tahun lagi sebagai langka untuk dapat meredamkan tikat dan tuntutan seluruh rakyat Papua tentang isu “Papua Merdeka” namun sebaiknya, justru memanfaatkan oleh para pejabat semua tingkatan untuk mencari kepentingan jabatan serta permainan korupsi, korusi, dan nepotisme (KKN). Sehingga menjadi pertanyaan, siapakah yang akan memikul segala bentuk jeritan, tangisan, penderitaan, pembantaian, indimidasi, dan pembodohan oleh pemerintah kepada rakyat Papua ini?
Pada hakikatnya Undang-undang Otonomi khusus sebagai landasan hukum guna membangun manusia Papua yang seutuhnya dalam menjalankan roda pembangunan, maka pemerintah Propinsi Papua perlu menerjemakan makna Otonomi khusus yang sebenarnya. Secara teori makna Otonomi atau autonomi berasal dari bahasa Yunani auto yang berarti sendiri, nomous yang berarti hukum atau peraturan. Sedangkan dalam literature Belanda Otonomi berarti Pemerintahan sendiri (Zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven di bagi atas ; Zelfwetgeving (membuat Undang-undang sendiri), Zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), Zelfreschtpreak (mengadili sendiri), dan Zelfpolitie (menindaki sendiri). Namun realitanya, salah menerjemakan makna dari Undang-undang Otonomi khusus tersebut dalam penerapannya, sebab antara konsep di atas kertas tidak sesuai dengan kondisi rill dilapangan. Rakyat Papua menghendaki agar dalam sisa tahun yang ada ini pemerintah diharapkan melakukan pendekatan-pendekatan yang persuasip secara adil dan bermartabat serta aspiratif guna mewujudkan kesejatheraan bagi orang aslih Papua dalam semua sector kehidupan untuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangganhya sendiri, sehingga makna menjadi tuan besar di negeri sendiri benar-benar terwujud.
Dalam perkembangannya Otonomi di berbagai Negara meliputi beberapa jenis sesuai dengan kondisi, setidaknya terdapat (5) macam Otonomi yang pernah di terapkan di berbagai Negara didunia, antara lain ; Otonomi organic (rumah tangga organic), Otonomi Formal (rumah tanggal Formal), Otonomi material/ (rumah tangga material/substantive), Otonomi ril (rumah tangga ril), Otonomi yang nyata bertanggung jawab dan dinamis.   
Dengan demikian, dapat di analisa bahwa Otonomi khusus yang di berikan Pemerintah Pusat kepada rakyat Propinsi Papua itu dalam prateknya tidak sesuai dengan teori yang ada. Maka rakyat Papua mengatakan bahwa, Otonomi khusus telah gagal itu wajar. Otonomi khusus lahir sesuai dengan kondisi daerah namun dalam implementasinya tidak sesuai harapan rakyat Papua karena selalu di sisihkan dan penentu kebijakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-undang Otonomi khusus hanya merupakan suatu bentuk transfer pengangguran dan kemiskinan dari luar Papua untuk membuka peluang dan kesempatan bagi orang non Papua untuk memanfaatkan sejumlah peluang yang tersedia, bukan Otonomi khusus yang sebenarnya.
Hal ini sangat beralasan, sebab dalam Undang-undang Otonomi khusus tidak ada jaminan secara jelas, tegas dan detail yang menjelaskan tentang bentuk menjadi tuan di negeri sendiri bagi orang aslih Papua yang sebenarnya. Karena tidak ada pasal dan ayat yang mengatur khusus bagi orang aslih Papua secara rinci (Perdasi/Perdasus).
Dengan demikian kita semua mengharapkan bahwa pemerintah sebagai agen perubahan dalam menjalankan roda pemerintahan di era Otonomi khusus ini perlu adanya suatu pengakuan terhadap “ALLAH orang Papua, Alam Papua, Manusia Papua” untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri serta menghargai dan menghormati hak-hak pribumi, agar makna Undang-undang Otonomi khusus bukan sekedar sebutan di bibir dan konsep semata, melainkan merupakan sebuah harapan hati nurani rakyat Papua.    

Perucuran Buku Budaya dan Tanah Adat Orang Moni Papua di Kritik

Peruncuran Buku, Budaya dan Tanah Adat Orang Moni di Distrik Sugapa Papua di Kritik
                                    Oleh: Septinus Tipagau

Meskipun dinilai cukup memberikan kontribusi terhadap pembahasan tentang papua, hasil penelitian Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Khatolik Atma Jaya Jakarta, kalangan masyarakat Papua di kritik.
Septinus Tipagau Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Jogyakarta, mengatakan dan kritik terhadap buku yang berjudul “Budaya dan Tanah Adat Orang Moni di Distrik Sugapa Papua”, pada hari selasa (20/4) di Universitas Atma Jaya Jakarta, bahwa saya sebagai orang asli Moni berterimakasih dengan sebesar-besarnya kepada tim peneliti Universitas Atma Jaya Jakarta karena melalui karya ini bisa mengangkat budaya dan adat orang Moni ke public. Dan tujuannya juga baik supaya public mengenal siapa orang moni itu dan keberadaan orang moni itu sebanarnya dimana.
Sayangnya didalam peruncuran buku ini saya menanggapi bahwa tidak dihargai keberadaan orang Moni sebagai subjek di dalam penelitian, berarti hal ini sangat tidak etis. Karena peruncuran buku itu tidak dilakukan di sugapa tetapi di Jakarta. Dan juga saya menilai dengan serius terhadap hasil penelitian itu bahwa, sangat tidak objektif dan representif karena hanya mengambil sampel penelitian di dua desa/ kamupung saja, dari sebelas desa/ kampung di distrik sugapa. Hal ini saya sangat menyesal karena akan mematikan potensi penduduk suku/bangsa Moni kedepan. Hal ini saya terungkap karena, kenyataannya orang Moni itu hidup tersebar di delapan distrik, yaitu; Sugapa, Homeyo, Wandai, Biandoga, Agisiga, Bibida dan Duma-dama dan juga Orang Moni tersebut hidup dan mendiami di tiga kabupaten yaitu; Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Paniai, dan Kabupaten Mimika Propinsi Papua.
Kecurigaan saya terhadap penelitian tersebut adalah atas desakan oleh PT. Mineservice Internasional (MSI) untuk kepentingannya PT. Freeport Indonesia karena, kami telah mengetahui bahwa PT. Mineservice Internasional adalah kontraktornya PT.FI. oleh karena itu PT.FI sebelum menyelesaikan kasus-kasusnya kami seluruh kaum intelektual serta masyarakat Moni Papua tidak mengijikan tetap kami dengan tegas menolak.
Setelah dengar dari pada kritikan oleh septinus Tipagau, terhadap perucuran buku yang berjudul budaya dan tanah adat orang Moni di distrik sugapa, Papua pada hari selasa (20/4) di Universitas Atma Jaya Jakarta pada saat diskusi di tempat Bapak Utama Kajo (International Economist) ketua/ Chairman “Kamar dagang dan Industri Indonesia” mengatakan bahwa pihak perusahan harus ada komitmen terhadap Warga/Masyarakat Moni bahwa perusahan mampu dan siap memberdayakan Orang Moni dan Membangun SDM seprti ; sekolahkan di luar negeri di bidang pertambangan, geology, penerbangan, kedokteran bahasa dan bidang-bidang penting yang lain berarti perusahaan bisa izinkan untuk masuk. Saat itu juga Septinus menjelaskan kepada beberapa peneliti Indonesia maupun pakar Ekonomi Indonesia bahwa ini yang di harapkan oleh seluruh Masyarakat Moni kami tidak mau terjadi hal yang sama dengan pengalamn PT.FI, dan nanti dampak lingkungannya seperti apa yang terjadi kan kami belum tahu? Dan kedudukan pemerintah Kabupaten Intan Jaya mau bawah kemana? Dan limbah yang akan kena di bagian muarah dan mambramo itu harus benar-benar di antisipasi dulu. Apa lagi mengenai kesejatrahan Masyarakat, SDM, pembangunan infrastuktur, kesehatan dan lain-lain itu harga mati pihak perusahaan harus memadai itu semua.
Dan Septinus menilai juga bahwa penulisan buku seperti ini belum lengkap dan atau mendalami dengan piloshofi orang Moni, terus belum lagi statistic kependudukan dan keberadaan orang Moni ini belum di akomadir semua dan penelitiannya belum terinci jadi kami menolak terhadap buku tersebut.
Karena mereka menjelaskan tanah sebagai mama/ perempuan tetapi belum menjelaskan maknanya yang luas. Tanggapan saya bahwa tanah sebagai mama itu memang benar Karen kami orang Moni anggaplah tanah itu sebagai mama dan yang melahirkan kami. Tetapi di ungkap lagi tanah sebagai perempuan bererti mereka anggap bahwa tanah orang Moni yang ada di Intan Jaya itu, panggaplah perempuan yang bisa tukar menukar dengan harga yang murah, atau bisa dapat di jual belikan.
Berarti saya menilai hal ini, tanah adat orang Moni di Intan jaya itu mereka anggap milik Negara bukan milik orang Moni, sehingga pihak perusahan hanya tubruk masuk tanpa izin pemilik tanah. Pada hal mereka tidak hargai tanah adat di atur dalam UU OPTUS dan Perdasi dan Perdasus serta peraturan MRP. Saya menegaskan atas hal ini bahwa Tanah Adat serta segala kekayaan yang ada di Wilayah MONI adalah milik Suku/bangsa MONI Pegunungan tengah Papua, ini semua di AnuGrahi Oleh Allah untuk Orang Moni itu sendiri. Maka kami tidak mengijinkan siapapun dia tanpa izin Orang Moni itu sendiri.

Menanggapi Pernyataan Mendagri

                                                    Menanggapi Pernyataan Mendagri
                         Oleh ; Septinus Tipagau

Sebagaimana yang dikatakan Mendagri Gunawan Fauzi dalam seminar Nasional di Padang (kompas, sabtu, 6/3/2010), bahwa tanggung jawab dan kekuasaan seorang gubernur pada masa yang akan datang jauh lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumya, hal itu bersamaan dengan dikeluarkannya PP 19/2010 tentang tata cara tugas dan wewenang dan kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah diwilayah propinsi. lebih lanjut dikatakan bahwa akan diberikan dana hibah bagi gubernur (block grand) dalam penyelenggaraan pemerintahan. persoalan ini sangat disayangkan jika memang benar terjadi, sebab hal yang demikian akan mematikan semangat otonomi daerah yang telah terbangun selama ini, bagaimana tidak UU No 32/2004 yang telah memberi pelimpahan kekuasaan yang jelas, nyata dan bertanggung jawab akan dibatasi serta dipersempit dengan kekuasaan yang dimiliki Gubernur/Propinsi untuk mengatur kabuaten/kota, hal ini tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan yang terpusat, yang terjadi pra reformasi dimana pemerintah daerah tidak bisa berkreasi untuk mengatur dan mengelola pembangunan daerah secara mandiri. Disisi lain dengan memperbesar kekuasaan propinsi akan membunuh karakter dan kreatifitas daerah yang selama ini mulai tumbuh dengan baik.
Padahal jika berbicara kewenangan pemerintahan baik propinsi maupun kabupaten/kota telah secara jelas dan rinci dibahas dalam UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah, sebagaimaa tercantum dalam pasal 13 dan 14 yang memberi penjelasan megenai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. kemudian lebih rinci juga dijelaskan pada pasal 37, secara tegas dikatakan bahwa tugas gubernur merupakan perwakilan dari pemerintah pusat dengan tugas-tugas gubernur (pasal 38) adalah melakukan: a).pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b).koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah propinsi dan kabupaten/kota; c).koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah propinsi dan kabupaten/kota.
Dari situ menunjukkan bahwa secara jelas pembagian tugas pemerintah propinsi yaitu sebagai perwakilan pemerintah pusat, itu artinya jika tugas tersebut diperbesar atau diperluas maka konsekwensi kekuasaan yang besar bukan hanya berada di propinsi namun pada pemerintah pusat, jika hal itu terjadi maka sistem pemerintahan yang telah dibangun dengan sistem otonomi akan berubah dan dapat dimungkinkan sistem tersebut kembali pada sistem sentralistik.
Terkait persoalan yang muncul dengan tidak efektifnya peran propinsi saat ini lebih dikarenakan pada tataran implementasi, yang dirasa propinsi tidak mempunyai kewenangan, fungsi dan peran dalam mengatur kabupaten/kota, padahal UU telah memberi ketegasan terhadap propinsi mengenai sistem pengawasan dan pembinaan pada daerah kab/kota, sehingga sebenarnya yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana implementasi UU 32/2004 dapat dimaksimalkan sehingga bisa mempertegas pengawasan dan pembinaan dengan melakukan koordinasi secara intensif pemerintah propinsi dengan lintas sektoral kabupaten/kota, sehingga dengan demikian jenjang herarkis pemerintahan Propinsi, kabupaten/kota sudah dapat menjadi jelas adanya.