Jumat, 29 April 2011

KPUD KABUPATEN PANIAI DISOROTI OLEH MASYARAKAT PANIAI, DEIYAI DAN INTAN JAYA


Oleh : Septinus Tipagau

 KPUD Kabupaten Paniai menangis dan keluarkan  keringat menta-menta di depan meja rapat penetapan DPRD ke tiga Kabuapaten yaitu ; Kabupaten Induk Paniai Kabupaten Deiyai, dan Kabupaten Intan Jaya berlangsung di gedung serba guna UATA WOGI YOGI di Enarotali pada tanggal 6 bulan Pebruari 2010 yang lalu. Hal ini terjadi ketika disoroti oleh masyarakat ke tiga Kabupaten tersebut diatas, permasalahan ini terjadi pada saat penetapan DPRD ke Kabupaten ini karena menurut masyarakat ke tiga Kabuapten tersebut bahwa, KPUD tidak berpacu pada Peraturan yang dikeluarkan oleh  KPU pusat, dan tidak juga di pertimbangkan pada Undang-
            undang OPTUS.
Berdasarkan hak tersebut diatas maka Beberapa masyarakat serta kaum intelektual Kabupaten Intan Jaya menyatakan bahwa, penetapan DPRD ke tiga Kabupaten yaitu ; Kabuapten Induk Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Intan Jaya tidak benar karena, kami sudah tahu peraturan KPU pusat tapi KPUD tidak berpacu pada peraturan tersebut dan tidak juga di lihat dari pada rekapan suara. Jadi mungkin mereka pake rumusannya seperti apa? Karena kami semua rekapan suara itu kosong tapi saat itu yang lain di bacakan 1500 suara. Berarti suara-suara itu dapat darimana? Sedangkan suara sisa dari parpol PKPB atas nama Enos Tipagau, SH dan Stepanus Ugipa itu walaupun ada sisa suara dei rekapan KPUD Kabupaten Paniai tetapi hanya di bandakan saja. Dan disini ada Contohnya kasus lagi bahwa, Partai Domokrat  atas nama saudara Alpius Bagau, SH  di dalam rekapan suara KPUD Kabupaten Paniai adalah 226 suara lalu pada saat penetapan kursi DPRD untuk ke tiga Kabupaten tersebut di gedung serba guna Enarotali itu di bacakan  atas nama saudara  Frans Maiseni, sedangkan saudara tersebut tidak ada suara di rekapan, saat di protes oleh saudara Alpius Bagau, SH dan teman-tamannya maka salah satu anggota KPUD mengaku dan meminta maaf-minta maaf kepada pihak yang di protes di depan masyarakat katanya salah di bacakan. Sehingga, sekarang pihak dari pada saudara Frans Maiseni mereka dapat kekecewaan dan hamper-hampir terjadi konflik. Jadi hal seperti ini KPUD harus transparan tidak boleh mengambil keputusan dari pada kemauannya sendiri tetapi harus berpacu juga pada peraturan dan Undang-Undang yang berlaku.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka Septinus Tipagau Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadja Mada Jogayakarta menilai bahw; hal ini terjadi karena kemungkinan besar KPUD sebelumnya belum mensosialisasikan  peraturan KPU pusat? kadang juga terjadi karena mungkin KPUD mengambil semacam keputusan dari pada kemauannya sendiri?, kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas ini benar, berarti KPUD harus belajar banyak mengenai perturan-peruran, Undang-undang pemilihan dan Undang-undang OPTUS untuk menjalankan sebagi fungsi dan tugasnya. Kadang masyarakat Papua sendiri tidak mengerti pada peluang-peluang dan kewenangan-kewenangan yang di berikan oleh Pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Propinsi Papua. Mereka itu hanya menjalankan kemauannya sendiri dan tidak mengerti pada Undang-undang Otonomi Khusus bagi Propinsi papua itu.
Hal semacam ini saya singung sedikit karena kadang masyarakat Papua sendiri tidak mengakui dan mengfungsikan Undang-undang OPTUS itu, contohnya seperti penetapan DPRD Kabupaten Intan Jaya. Kenapakah satu Kursi DPRD dari partai keadilan sejathera (PKS) itu tidak memberikan kepada putra daerah pada hal kader-kader dari parpol tersebut itu ada.
Hal semacam ini membuat orang Papua sendiri pada bingung karena tidak fungsikan dan tidak menjalankan Otonomi khusus yang di berikan oleh pemerintah pusat, berarti mungkin kami jangan salahkan kepada Pemerintah Pusat. Jadi  maksud saya disini supaya memberikan peluang kepada putra daerahlah sehingga tidak boleh terjadi permasalahan di antara kita sendiri (orang papua) hal ini saya singung karena intan Jaya adalah salah satu Kabupaten baru dari pada buah Otonomi ( kabupaten otonom).
Namun pribadi saya walaupun dengan adanya seperti ini kadang saya menyesal setelah saya belajar apa yang kami ceritakan diatas ini. Namun saya juga kadang sangat maklum saja seperti sekarang kami maklum sekali terhadap kerjanya KPUD Kabupaten Paniai karena kayanya mereka belum belajar dengan baik-baik mengenai peraturan KPU pusat, Undang-undang OPTUS bahkanpun fungsi dan tugas mereka.

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Oleh : Septinus Tipagau

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah - yang kemudian direvisi menjadi UU  Nomor 32 Tahun 2004 bahwa tentang isu kewenangan itu didesentralisasi ke daerah. Untuk memahami desentralisasi, maka berbagai konsep yang berhubungan dengan desentralisasi ini seperti pemerintahan lokal (local government) dan otonomi daerah ini akan mencoba untuk dibahas dalam tulisan ini.
A. Pengertian Desentralisasi
Setiap negara, apapun bentuk negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut Dr. Pratikno[1] (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah ini menurut Litvack & Seddon (1999 :2) di namakan juga dengan ”desentralisasi”[2].
“Decentralization is the transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independece government or organization, or the private sector”

Rondinelli (1981)[3] mengartikan desentralisasi sebagai “transfer of political power”. Transfer kewenangan atau pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan pemerintah, pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah[4]. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi.
Istilah dekonsentrasi  ini dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam model ini hanya melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis, maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering diterapkan di negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an.
Istilah Devolusi ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat sub-nasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari pendapatan dan membelanjakannya.
Istilah Delegasi ini merupakan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi–organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.
Dan sementara privatisasi ini merupakan  pemindahan tugas-tugas dan pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara yang sedang berkembang telah lamah bergantung kepada organisasi-organisasi sukarela dalam penyediaan pelayanan publik. Karena seringnya pemerintah tidak dapat menanggung biaya pengembangan maka dicarilah alternatif-alternatif pembiayaan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan publik.
            Pendapat lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh Carolie Bryant dan Louise G White. Desentralisasi diartikannya sebagai transfer kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik. Desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat daerah, sedangkan desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan daerah.
            Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada pemerintah lokal adalah akan memberdayakan kemampuan daerah (empowerment local capasity). Apabila pemerintahan daerah diserahi tanggung jawab terhadap sumber daya, maka kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah daerah hanya ditugaskan untuk mengikuti kebijakan pusat maka partisipasi para elit daerah dan warganya akan rendah. Akibatnya, daya kreativitas, dan inovasi masyarakat menjadi lemah dan tidak berkembang serta tingkat ketergantungan masyarakat dan pemerintahan daerah kepada pusatnya semakin tinggi.
Menurut Rondinelli, harus dibedakan antara desentralisasi fungsi dan desentralisasi geografis. Pembedaan ini dalam organisasi sistem pelayanan kesehatan misalnya, sangat relevan. Dalam desentralisasi fungsional, badan yang berwenang dalam menjalankan fungsi tertentu misalnya pelayanan kesehatan  diubah ke kantor daerah yang khusus. Dalam desentralisasi wilayah, tanggung jawab luas dalam pelayanan masyarakat dipindah ke-organisasi-organisasi daerah yang telah mempunyai wilayah kerja yang jelas. Organisasi pelayanan kesehatan dapat didesentralisasi dalam dua cara tersebut, tetapi departemen- departemen mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi derajat desentralisasi fungsional dibanding dengan desentralisasi wilayah, dimana sektor kesehatan hanya merupakan salah satu pelayanan pemerintah yang didesentralisasi.
Menurut Yves Meny (1995 : 335), desentralisasi ini bisa terdapat dalam bentuk rezim pemerintahan apapun, baik monarki atau republik, sistem federal maupun non-federal[5]. Desentralisasi dapat dibandingkan dengan sistem federalisme (khususnya seperti yang terdapat di Eropa), devolusi (di Inggris), regionalisasi (di Belgia, Italia dan Perancis) dan dekonsentrasi (alat kelengkapan kekuasaan kepada perwakilan lokal dari pemerintah pusat).
“desentralization can take place ini any form of regime : monarchy or republic, federal or non federal system”. It has been contrasted with federalism (especially in europe),  devolution (in Britain), regionalization (in Belgium, Italy, and France), and deconcentration (the attribution of power to local representatives of central government)”.
Dari sudut pandang klasik, desentralisasi biasanya diidentikkan dengan masyarakat lokal, tapi desentralisasi secara aktual merupakan salah satu bentuk organisasional yang dapat digunakan pada tingkatan (level) pemerintahan apapun (seperti masyarakat, kota, propinsi, atau kabupaten).
“the classical view identified decentralization with the local community, but it is actually an organizational form that can be used at any local of government (such as community, county, province, or region)”[6].
Sementara itu, pengertian desentralisasi menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, apakah tujuan desentralisasi itu? Menurut Prof. Dr. Sadu Wasistiono (2005 : 61), terdapat 2 tujuan desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik dari desentralisasi adalah dalam rangka mewujudkan demokratisasi, sedangkan tujuan administratifnya adalah dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemerintahan[7].
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa desentralisasi pada dasarnya merupakan proses demokratisasi pemerintahan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan lokal (local government) dalam mengurus rumah tangga daerahnya untuk mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
Prof Dr. Riswandha Imawan (2005 : 39) mengatakan bahwa “desentralisasi merupakan konsekwensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan pelaksanaan dari keputusan itu didesentralisasikan menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi[8]. Bahkan secara tegas dinyatakan oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA (2007 : 17-18) bahwa “Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Hal ini berarti ”Tidak ada demokrasi pemerintahan tanpa desentralisasi” [9].
Menurut Sutoro Eko (2003 : 2), keterkaitan antara desentralisasi dan demokratisasi kemudian melahirkan konsep desentralisasi demokratis atau model Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat (ODBM). Selanjutnya dikatakan oleh Sutoro Eko bahwa :
Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi berbasis kepada partisipasi masyarakat. Semuanya berasal dari masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat, yaitu otonomi daerah yang dibangun dari partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab oleh masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif untuk masyarakat” [10].

            Konsep ODBM identik dengan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralization), yaitu bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Menurut Camille Barnett, dkk (1997) yang dikutip oleh Sutoro Eko, desentralisasi demokratis hendak mengelola kekuasan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses demokrasi pada level pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar (ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan.
            Gambar berikut ini merupakan skema dari desentralisasi demokratis yang menggabungkan desentralisasi dan pemerintahan lokal yang demokratis.
                                   
                                                           Gambar
                                         Skema Desentralisasi, Demokrasi
                                                      
                                                         Pemerintah 
                                                             Pusat                               Desentralisasi
                                                                                         (Memberikan Kewenangan dan
                                                                                                  Tanggung Jawab)
            Desentralisasi dan
                Demokrasi                    Pemerintah 
                                                        Daerah
                                                                                             Pemerintah Lokal Demokratis
                                                                                                (Akses, Akuntabilitas dan 
                                                                                                      Masyarakat Sipil)

                                                  Masyarakat 
                                                       Lokal
                                                  
                                          Sumber : Sutoro Eko (2003 : 2)

Bagaimana caranya agar desentralisasi itu dapat berfungsi dengan baik dalam kondisi Indonesia saat ini ? Bank Dunia menyarankan 5 tindakan yang harus dilakukan oleh Indonesia agar desentralisasi bisa berfungsi dan berjalan dengan baik, yaitu [1]:
            1). Menyusun roadmap
Penyusunan rencana perubahan dan tindakan yang akan dilakukan dalam sebuah roadmap atau cetak biru desentralisasi, akan memberikan kejelasan dan membantu tahap pelaksanaan.
2). Menunjuk pihak yang bertanggungjawab
Desentralisasi mencakup berbagai bidang di dalam pemerintah, oleh karena itu diperlukan suatu koordinasi yang sangat baik. Hal tersebut selama ini dirasakan masih sangat kurang. Beberapa kementerian terlihat masih belum dapat mengakomodasi proses desentralisasi ini, sementara kementerian lain seakan-akan kehilangan arah.
Bank Dunia menyarankan agar dibentuk sebuah lembaga yang berada di bawah kantor Kepresidenan dan diberikan kewenangan khusus dalam mengkoordinasikan pelaksanaan desentralisasi di berbagai bidang pemerintahan. Lembaga ini juga dapat memprakarsai penyusunan roadmap, serta menjaga konsistensi pelaksanaannya di berbagai kementerian teknis.
3). Memperjelas kewenangan
Revisi dari UU 22 hanya memuat kriteria umum mengenai pembagian tanggung jawab untuk berbagai tingkat pemerintahan. Bank Dunia menyarankan agar berbagai undang-undang sektoral diperbarui untuk menjabarkan wewenang pada tingkat pusat dan menjelaskan fungsi-fungsi wajib pemerintah daerah yang berkait dengan sektor-sektor tersebut.
4). Penyaluran dana secara lebih merata.
Untuk penaluran dana itu, perlu dilakukan dengan 2 cara yaitu:
-         Memperbaiki penentuan besaran Dana Alokasi Umum (DAU.
-         Meningkatkan pemberian dana Alokasi Khusus (DAK)
5). Meningkatkan akuntabilitas lokal
Desentralisasi hanya dapat berjalan dengan baik jika pemerintah daerah dapat menunjukkan akuntabilitas pemerintahan mereka, baik kepada masyarakat daerah sebagai klien, dan juga  pemerintah pusat sebagai atasan mereka. Dengan diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan salah satu langkah maju untuk meningkatkan akuntabilitas lokal. Langkah lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas lokal adalah dengan menyediakan lebih banyak informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat pemilih

Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri. Dan  urusan pemerintahan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian ini mengandung makna bahwa dengan desentralisasi atau transfer kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah tersebut, maka daerah memiliki hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal. Artinya, prakarsa dan inovasi daerah sangat dihargai, namun tetap dalam konteks mengikuti aturan dan mekanisme perundang-undangan yang berlaku agar hak dan kewenangan itu tidak menjadi alasan dan pembenar untuk boleh melakukan apa saja yang justru malah akan bersifat kontra produktif atau menimbulkan persoalan di kemudian hari. Inilah persoalan besar yang selalu dihadapi oleh negara kita dalam melaksanakan otonomi daerah karena setiap aparatur pemerintah dan pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota, memiliki persepsi dan paradigma yang berbeda dalam memaknai desentralisasi dan otonomi daerah melalui aturan perundang-undangan yang dikeluarkan.
Untuk memaknai otonomi daerah, perlu dipahami bagaimana filosofi dan visi dari otonomi daerah itu sendiri. Menurut Drs. Syamsuddin Harris, Msi, (2007 : 74-75), ada 2 filosofi otonomi daerah yang penting untuk dipahami, yaitu :
1). Melihat otonomi daerah sebagai otonomi dari masyarakat daerah, bukan ”sekadar” otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari cara pandang ini adalah bahwa kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pemberdayaan dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
2). Memandang otonomi daerah sebagai hak daerah yang sudah ada pada masyarakat setempat. Konsekuensi logis dari cara pandang ini adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak masyarakat tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat.
Visi otonomi daerah menurut Prof Dr. Ryaas Rasyid, MA (2007 : 9) dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu politik, ekonomi serta sosial budaya[2].
1). Visi otonomi daerah di bidang politik :
Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
            2). Visi Otonomi daerah di bidang Ekonomi
Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak, terbukanya peluang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan potensi ekonomi di daerahnya, sehingga otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
3). Visi otonomi daerah di bidang sosial budaya :
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Bagaimana peranan pemerintah pusat dalam desentralisasi ? Menurut Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA, bahwa ;
peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi.


[1] Bank Dunia, Mengupayakan Bekerjanya Desentralisasi, www.worldbank.org
[2] Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA, Otonomi Daerah, Latar Belakang dan Masa Depannya, dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2007, hal 9-10.

[1] Disampaikan oleh Dr. Pratikno dalam kuliah Manajemen dan Kebijakan Keuangan Daerah di  MAP UGM  Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 2006.
[2] Dikutip oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MM dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2005 : 61), LIPI Press, Jakarta, 2005.
[3] Ibid.
[4] Dikutip oleh Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averroes Press, 2005, hal. 3.
[5] Yves Meny, Decentralization, dalam Encyclopedia of Democracy, Conggressional Quarterly Inc., Washington, 1995.
[6] Yves Meny, ibid, hal. 335.
[7] Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MM, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2005 : 61). LIPI Press, Jakarta.
[8] Prof. Dr. Riswandha Imawan, MA, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, ibid, hal. 39 & 45).
[9] Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA, Otonomi Daerah, Latar Belakang dan Masa Depannya, ibid, hal 17-18.
[10] Dinamika Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, makalah disajikan dalam Lokakarya ”Wawasan Pembangunan Nasional”, Bogor 17-19 September 2003, www.